MARI MENJADI PEMERAN (CERPEN 1)
Liburan, biasanya banyak hal menarik untuk dilakukan. Berkunjung ke rumah saudara, bertualang bersama kawan, menikmati banyak wahana rekreasi, dan sebagainya.
Hanya orang-orang yang beruntung sajalah, ketika melakukan aktifitas dapat mengambil pelajaran darinya.
Di awal masuk setelah libur semester gasal, ustdah Dyah membuka materi pelajarannya dengan mencoba menggali pengalaman menarik dari murid-muridnya.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.”
“Bagaimana liburannya? Menyenangkan?”
“Sangat menyenangkan ustadah” jawab anak-anak serentak
“Alhamdulillah, ustadah juga merasakan demikian nak. Mengawali pertemuan di semester dua ini, adakah yang ingin berbagi kesan paling menarik selama liburan kemarin?”
“Saya ustadah.”
Diluar dugaan, Adin si pendiam mengacungkan tangan dengan semangat. Ustadah Dyah mempersilahkannya.
Matanya berbinar dangan suara penuh kegembiraan Adin menyampaikan pengalamannya dengan lancar.
“Waktu libur aku ikut mendengarkan kuliah subuh sama ayahku di musolah, isinya tentang hak waris.”
“Masyaallah. Apa yang membuat kamu merasa kalau itu menarik nak?”
“Saya jadi tambah ilmu ustadah.” Adin menjawab dengan senyuman manisnya.
Ah, betapa berbunganya hati ustadah Dyah mendengar dan menyaksikan hal itu.
“Bagus Adin, terimakasih. Hak waris kita pelajari di kelas 6. Semoga nanti apa yang didapat masih ingat ya. Baik, siapa lagi yang akan berbagi?”
“Saya ustadah. Pas ke taman safari, saya hampir jatuh ke kandang harimau. Ngeri rasanya. Untung ada yang menolong.”
Namanya Ceta. Dia menyampaikan dengan santai. Memang begitulah gayanya. Sementara teman-temannya, juga ustadah Dyaj reflek mengucapkan istigfar.
“Astagfitullah, pengalaman yang mendebarkan. Kira-kira kaitannya dengan pelajaran PAI apa ya nak?”
“Ajalnya belum sampai ustadah.”
“Benar sekali. Anak-anak, mas Cetta sudah membuktikan bahwa ajal itu tidak bisa dimajukan atau dimundurkan.”
“Waah kalau ajal Cetta tiba saat itu, hari ini Cetta ndak duduk sama aku. Alhamdulillah, pengalamanmu ngeri sekali Cet.”
Byan, teman sebangku Cetta menimpali sambil menepuk-nepuk pundak sahabatnya. Anak-anak yang lainpun serentak mengucapkan alhamdulillah.
“Ustadah, aku ada pngalaman yang berkesan.”
“Baiklah, Apa itu nak?”
“Jiarah ke makam kakek dan nenek.”
“Apa yang membuatmu terkesan?”
“Aku ingat mati ustadah.”
“Masyaallah. Hari ini ustadah banyak bersyukur. Allah memberikan pemahaman yang luar biasa pada kalian. Kalian semua hebat.”
Ruangan kelas dipenuhi rasa syukur. Anak-anak begitu antusias menyampaikan kesan liburannya. Ustadah Dyahpun mengapresiasi murid-muridnya sedemikian rupa.
Mereka mendapatkan cindramata. Sebuah gantungan kunci yang sengaja dibeli ustadah Dyah ketika berlibur diJogja.
Ditengah kehanggatan interaksi guru dan muridnya, ada salah satu diantara mereka yang terlihat tidak antusias.
“Aku merasa rugi ustadah saat liburan.”
“Oh ya, memang kenapa nak?”
“Setiap hari aku main game. Nyesel rasanya ustadah.”
“Kamu keren Anwar.” Kata ustadah Dyah sambil mengacungkan kedua ibu jarinya.
“Kamu sudah memahami sebuah kerugian. Insyaallah, hal ini akan membuatmu lebih hati-hati untuk beraktifitas yang sia-sia. Semoga tidak akan terulang lagi ya?”
Anwarpun menganggukan kepalanya, akan tetapi raut wajahnya masih tampak tidak bersemangat.
Saat Allah menetapkan takdir-Nya, berlakulah hukum keadilan disana. Dapat memahami hikmah dibalik semua peristiwa. Bukan saja milik mereka yang sudah merasakan banyak pengalaman hidup. Akan tetapi, anak-anak diusia pertumbuhanpun berhak mendapatkan takdir luar biasa.
Peran lingkungan disekitarnya, sangat membantu untuk menggali dan menumbuhkan kondisi berfikir anak-anak. Maka, jadikanlah diri kita sebagai sarana mereka untuk dapat lebih mengenal keberadaan Allah dengan segala karuniaNya.
Komalasari, cerita akhir tahun
Tags:Mari_mejadi_Pemeran